Jumat, 19 Februari 2016

KEPAILITAN PART 2




KEPAILITAN
 PART 2


Menarik membaca Sumber-Sumber ilmu mengenai Hukum Kepailitan, karena Hukum Kepailitan tidak saja ada di Indonesia sebagaimana diterangkan dalam Undang-Undang No37 Tahun 2004 tentang Kepailitan (UUK), tapi juga menarik untuk diketahui bahwa diluar Indonesia terdapat pengertian mengenai Kepailitan yaitu sebagaimana kepailitan menurut Black Law Dictionary yang saya kutip dari Buku berjudul Cara Mudah Memaham Proses Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang ditulis oleh DR. Edward Manik, S.H., LL.M., pada Halaman 1, disebutkan pada Halaman tersebut bahwa dalam Black Law Dictionary, pailit atau Bankrupt adalah “The state or condition of a person (individual or partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due. The term includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudge a bankrupt.”

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian pailit digambarkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari debitor baik yang berupa orang pribadi maupun entitas usaha atas utang-utanganya yang telah jatuh tempo.

Menurut sejarah hukum kepailitan, hukum tentang kepailitan itu sendiri pada dasarnya sudah ada sejak  zaman Romawi (Baird Douglas G, 1985:21), jika kita menelusuri lebih lanjut sebenarnya kata bankrupt berasal dari Undang-Undang di Itali yang disebut dengan banca rupta. Awalnya, di abad pertengahan di Eropa ada praktek kebangkrutan di mana dilakukan penghancuran atas bangku-bangku yang merupakan tempat para bankir atau pedagang bertransaksi dan kemudian melarikan diri secara diam-diam dengan membawa harta para kreditor. Atau seperti keadaaan di Venetia (Italy) waktu itu, dimana para pemberi pinjaman (bankir) yang tidak mampu lagi membayar hutang atau gagal dalam usahanya, lalu menghancurkan bangku tersebut sehingga disebut bangkrut. (Abdurrachman, A., 1991:89 sebagaimana dikutip oleh Munir Fuady, 2002:3)

Seterusnya dalam Buku berjudul Cara Mudah Memaham Proses Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang ditulis oleh DR. Edward Manik, S.H., LL.M., dijelaskan lebih jauh pada halaman-halaman berikutnya perihal perkembangan sejarah kepailitan di Negara Commol Law dan Indonesia.

Saya sendiri lebih cocok dan lebih mudah dicerna perihal pengertian Kepailitan menurut UUK yaitu UU No 37 Tahun 2004 (untuk selanjutnya cukup disebut UUK) menjelaskan dalam Pasal 1 ayat 1Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang‑Undang ini.”
Kepailitan sendiri menurut saya biasanya berawal dari sebuah Perjanjian dimana Perjanjian tersebut menimbulkan kewajiban yang harus dilakukan, sebagai contoh, PT. A melakukan Jual Beli dengan PT. B berupa pembelian Besi dan Baja dengan jangka waktu pembayaran 30 hari setelah barang berupa Besi dan Baja tersebut diterima oleh PT.A dari PT B.
Ternyata setelah lewat 30 hari bahkan 1 tahun lebih setelah diterimanya Besi dan Baja tersebut oleh PT. A dari PT. B, PT. A tidak juga melaksanakan pembayaran sebagaimana seharusnya menurut Perjanjian, maka PT. A yang telah lalai tersebut dalam memenuhi kewajibannya untuk membayar ke PT. B dapat mengajukan gugatan wanprestasi kepada PT. A.
Di sisi lain PT. B juga dapat memilih menempuh upaya hukum yang lain selain gugatan wanprestasi ke Pengadilan Negeri, upaya hukum yang lain tersebut adalah mengajukan permohonan pailit atau PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) terhadap PT. A ke Pengadilan Niaga dimana upaya hukum ini memiliki syarat yang lebih khusus daripada upaya hukum gugatan wanprestasi ke Pengadilan Negeri.
Syarat-syarat yang harus diperhatikan sebelum PT. B mengajukan permohonan Pailit atau PKPU terhadap PT. A antara lain adalah :

1.      Yang pertama adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 UUK yaitu:


Syarat dan Putusan Pailit
Pasal 2

(1)  Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

Penjelasan :
Pasal 2
Ayat(1)

            Yang dimaksud dengan "Kreditor" dalam ayat ini adalah baik kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta Debitor dan haknya untuk didahulukan.

Bilamana terdapat sindikasi kreditor maka masing‑masing Kreditor adalah Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2.

                        Yang dimaksud dengan "utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih" adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter atau majelis arbitrase.



2.      Wajib diwakili oleh Advokat artinya PT.B tidak bisa mengajukan sendiri permohonan pailit baik oleh Direktur maupun oleh bagian Legal atau Hukum dari Perusahaan yang tidak memiliki ijin Praktek/status sebagai Advokat.
  


Mungkin ada pertanyaan di Pasal 2 UUK tersebut kenapa dicantumkan utang? Kan jual beli Besi dan Baja, bukan Perjanjian Utang Piutang atau Kredit di Bank? Untuk itu pertanyaan tersebut sudah ada jawabannya di Pasal 1 ayat (6) UUK “Kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bula tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.”