KEPAILITAN
PART 2
Menarik membaca Sumber-Sumber ilmu
mengenai Hukum Kepailitan, karena Hukum Kepailitan tidak saja ada di Indonesia
sebagaimana diterangkan dalam Undang-Undang No37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
(UUK), tapi juga menarik untuk diketahui bahwa diluar Indonesia terdapat
pengertian mengenai Kepailitan yaitu sebagaimana kepailitan menurut Black Law
Dictionary yang saya kutip dari Buku berjudul Cara Mudah Memaham Proses
Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang ditulis oleh DR.
Edward Manik, S.H., LL.M., pada Halaman 1, disebutkan pada Halaman tersebut
bahwa dalam Black Law Dictionary, pailit atau Bankrupt adalah “The state or
condition of a person (individual or partnership, corporation, municipality)
who is unable to pay its debt as they are, or become due. The term includes a
person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a
voluntary petition, or who has been adjudge a bankrupt.”
Dari pengertian di atas, dapat
disimpulkan bahwa pengertian pailit digambarkan dengan ketidakmampuan untuk
membayar dari debitor baik yang berupa orang pribadi maupun entitas usaha atas
utang-utanganya yang telah jatuh tempo.
Menurut sejarah hukum kepailitan, hukum
tentang kepailitan itu sendiri pada dasarnya sudah ada sejak zaman Romawi (Baird Douglas G, 1985:21), jika
kita menelusuri lebih lanjut sebenarnya kata bankrupt berasal dari
Undang-Undang di Itali yang disebut dengan banca rupta. Awalnya, di abad
pertengahan di Eropa ada praktek kebangkrutan di mana dilakukan penghancuran
atas bangku-bangku yang merupakan tempat para bankir atau pedagang bertransaksi
dan kemudian melarikan diri secara diam-diam dengan membawa harta para kreditor.
Atau seperti keadaaan di Venetia (Italy) waktu itu, dimana para pemberi
pinjaman (bankir) yang tidak mampu lagi membayar hutang atau gagal dalam
usahanya, lalu menghancurkan bangku tersebut sehingga disebut bangkrut.
(Abdurrachman, A., 1991:89 sebagaimana dikutip oleh Munir Fuady, 2002:3)
Seterusnya dalam Buku berjudul Cara
Mudah Memaham Proses Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang ditulis
oleh DR. Edward Manik, S.H., LL.M., dijelaskan lebih jauh pada halaman-halaman
berikutnya perihal perkembangan sejarah kepailitan di Negara Commol Law dan
Indonesia.
Saya sendiri lebih
cocok dan lebih mudah dicerna perihal pengertian Kepailitan menurut UUK yaitu UU
No 37 Tahun 2004 (untuk selanjutnya cukup disebut UUK) menjelaskan dalam Pasal 1 ayat 1 “Kepailitan adalah sita umum atas semua
kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh
Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang‑Undang
ini.”
Kepailitan
sendiri menurut saya biasanya berawal dari sebuah Perjanjian dimana Perjanjian
tersebut menimbulkan kewajiban yang harus dilakukan, sebagai contoh, PT. A
melakukan Jual Beli dengan PT. B berupa pembelian Besi dan Baja dengan jangka
waktu pembayaran 30 hari setelah barang berupa Besi dan Baja tersebut diterima
oleh PT.A dari PT B.
Ternyata
setelah lewat 30 hari bahkan 1 tahun lebih setelah diterimanya Besi dan Baja
tersebut oleh PT. A dari PT. B, PT. A tidak juga melaksanakan pembayaran
sebagaimana seharusnya menurut Perjanjian, maka PT. A yang telah lalai tersebut
dalam memenuhi kewajibannya untuk membayar ke PT. B dapat mengajukan gugatan
wanprestasi kepada PT. A.
Di
sisi lain PT. B juga dapat memilih menempuh upaya hukum yang lain selain
gugatan wanprestasi ke Pengadilan Negeri, upaya hukum yang lain tersebut adalah
mengajukan permohonan pailit atau PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)
terhadap PT. A ke Pengadilan Niaga dimana upaya hukum ini memiliki syarat yang
lebih khusus daripada upaya hukum gugatan wanprestasi ke Pengadilan Negeri.
Syarat-syarat
yang harus diperhatikan sebelum PT. B mengajukan permohonan Pailit atau PKPU
terhadap PT. A antara lain adalah :
1.
Yang
pertama adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 UUK yaitu:
Syarat dan Putusan Pailit
Pasal 2
(1) Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar
lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya.
Penjelasan :
Pasal 2
Ayat(1)
Yang
dimaksud dengan "Kreditor" dalam ayat ini adalah baik kreditor
konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor
separatis dan kreditor preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan
pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap
harta Debitor dan haknya untuk didahulukan.
Bilamana terdapat sindikasi kreditor maka masing‑masing
Kreditor adalah Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 2.
Yang
dimaksud dengan "utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih" adalah
kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah
diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan,
karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena
putusan pengadilan, arbiter atau majelis arbitrase.
2.
Wajib
diwakili oleh Advokat artinya PT.B tidak bisa mengajukan sendiri permohonan
pailit baik oleh Direktur maupun oleh bagian Legal atau Hukum dari Perusahaan yang
tidak memiliki ijin Praktek/status sebagai Advokat.
Mungkin ada pertanyaan di Pasal 2 UUK tersebut kenapa
dicantumkan utang? Kan jual beli Besi dan Baja, bukan Perjanjian Utang Piutang
atau Kredit di Bank? Untuk itu pertanyaan tersebut sudah ada jawabannya di
Pasal 1 ayat (6) UUK “Kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam
jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara
langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul
karena perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan
bula tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya
dari harta kekayaan Debitor.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar